Selasa, 18 Oktober 2011

How do I meet my Friends....


Salah satu hakikat kodrat manusia yang paling dasar adalah keinginannya untuk mempunyai kehidupan sosial. Secara gamblang dapat diartikan bahwa manusia butuh manusia lain, dalam satu atau berbagai hal kebutuhan tersebut ditafsirkan.. Tapi mungkin yang paling banyak dipraktekan dalam kehidupan manusia adalah dengan mempunyai teman.. Aku juga manusia (Wah, kayak lagunya Seureus), jadi kebutuhan untuk bersosialisasi juga menjadi salah keinginan yang terdalam. Apalagi dengan berada di tempat yang baru seperti sekarang ini, dengan mempunyai banyak teman merupakan keuntungan tersendiri, karena bukan hanya bisa menghilangkan dampak negatif "kesendirian" tapi juga jika sewaktu-waktu aku butuh bantuan, salah satu atau beberapa dari sekian banyak teman yang kupunyai itu akan dapat memberikannya. Kecuali pribadi yang sangat-sangat-sangat introvert, aku tidak yakin kalau seseorang dapat hidup sendirian di atas dunia ini. Bahkan Tom Hank pun dalam film Castaway juga dengan "terpaksa" menciptakan seorang "teman" dari bola volley yang ikut terdampar bersama dengannya (yang dia beri nama "Wilson"). Tujuannya cuman untuk memenuhi kebutuhan si Tom Hanks untuk menjadi "sosok" yang akan mendengarkan setiap perkataan dan keluh kesahnya atau bahkan untuk menjadi pelampiasan kegembiraannya saat dia berhasil melakukan sesuatu.

Cast Away


Wilson the Volleyball


Nah jika klausul-klausul sifat manusia di atas disilangkan dengan kondisi ku sekarang yang berada di Stouffer Place apartment, akan menjadi alasan utama buatku untuk melakukan sosialisasi dengan sesama penghuni di kawasan ini. Seperti yang sudah kuceritakan dalam note sebelumnya, kalau apartment Stouffer ini merupakan lokasi perumahan yang diperuntukan untuk tiga kategori mahasiswa di KU ini, yaitu mahasiswa undergraduate dan sudah menikah, mahasiswa graduate single dan mahasiswa graduate yang telah berkeluarga. Lokasinya berada di kaki Daisy Hills, tempat apartment ku yang sebelumnya McCollum berada. Beda dengan McCollum yang selalu ramai dengan cerianya kawula mula undergraduate yang selalu heboh dengan pesta-pesta dan acara pulang malamnya (aku baru tahu kalau safebus yang tiap malam menghantarkan mahasiswa dari residence hall ke downtown dan sebaliknya tersebut dimaksudkan supaya mereka yang sudah mabuk saat minum-minum di bar di downtown, tidak mengalami kecelakaan--menurut Vijay Barve, suaminya Narayani Barve teman se lab ku, safebus = drunken bus.. Haaahh..!!). Stouffer Apartment cenderung untuk adem-adem dan tenang, karena bangunannya yang terpencar-pencar (ada kurang dari tigapuluhan bangunan berlantai dua yang diberi nama Building 1, Building 2 dan seterusnya) dan masing-masing penghuninya sibuk dengan urusan masing-masing. Hanya kadang-kadang, sering kita temukan penghuni Stouffer ini dengan keluarganya masing-masing bermain bareng di taman bermain yang disediakan di berbagai lokasi tanah lapang di sekitar apartmentnya tersebut... Jadi, berhubung dengan situasi tersebut, aku cenderung untuk memanfaatkan berbagai kondisi yang ada untuk mencari teman sebanyak-banyaknya dari sesama penghuni Stouffer ini.

Stouffer Place Apartment. Di background adalah residence hall di Daisy Hills

Stouffer Place Apartment

Yang pertama-tama tentunya adalah beberapa orang Indonesia yang juga sama-sama menghuni apartment Stouffer. Beberapa dari mereka sudah kuceritakan dalam postingan ku dulu ketika menceritakan suasana lebaran di Kansas ini. Mereka antara lain adalah Marlyn, yang pertama kutemui di acara Housewarming di belakang Hill Top, terus ada Pak Taufik Dawud, seorang dosen dari Aceh yang kutemui ketika selesai shalat jum'at di ILC. Terus ada Mbak Nanik dan suaminya Mas Kustiawan yang dosen di salah satu universitas di Sulawesi. Kabar terbaru dari pasangan suami istri ini adalah, Mbak Nanik sudah melahirkan seorang bayi perempuan secara caesar beberapa waktu yang lalu. Sampai sekarang, aku belum melihat Mbak Nanik kembali dari rumah sakit di Kansas City tempat dia melahirkan tersebut. Kayaknya membutuhkan waktu yang lama untuk recovery setelah operasi tersebut. Kemudian ada Mbak Becca dan suaminya. Mbak Becca ini satu kuliahan dengan Mas Kus. Lalu ada mahasiswa undergraduate, Esterania Armanto. Dia sempat mengkritik ku karena salah dalam membuat namanya di postingan tentang lebaran di Kansas dulu.Semua yang kusebutkan di atas, kecuali Ester, adalah mahasiswa graduate yang mendapatkan beasiswa dari Fulbright. Masih ada beberapa orang Indonesia lainnya yang kukenal via Facebook di Stouffer ini, tapi belum pernah ketemu secara langsung, seperti Mbak Christine Bangun dan Mas Rio... Tapi mudah-mudahan seiring dengan waktu, aku bakal bisa ketemu dengan mereka.

Kemudian ada teman-teman dari negara lain. Yang paling jelas adalah Narayani dan Vijay Barve serta anak perempuan mereka (aku lupa namanya). Narayani ini adalah teman satu lab ku, walaupun dia tidak bekerja dengan suatu eksperimen tertentu di Museum, tapi dia satu ruangan dengan Andres dan Carl. Narayani ini orangnya sangat baik, sering memberikan petunjuk tentang berbagai hal yang ingin kuketahui, terutama saat awal-awal aku sampai di Kansas ini. Kemudian mereka juga sering mencarikan alat-alat rumah tangga yang kubutuhkan untuk apartemen ku. Termasuk meminjamkan mobilnya untuk menjemput suatu barang yang tidak bisa dibawa dengan tenaga secara langsung. Terakhir, Vijay mencalonkan diri untuk ikut dalam election untuk menjadi Student Liaison Representative (perwakilan mahasiswa untuk setiap sidang senat di Universitas) dari Stouffer Community. Aku pas voting kemaren, ngasih suaraku ke Vijay. Tapi ketika hari ini hasilnya keluar, ternyata Vijay tidak terpilih dan calon dari China yang terpilih untuk jabatan tersebut. Yah, mungkin belum beruntung untuk kali ini..

Terus ada juga beberapa orang kenalan yang sering kutemui selama beraktifitas di Islamic Center of Lawrence. Kebanyakan aku hanya kenal wajah tapi tidak tahu dengan pasti nama mereka. Seperti misalnya salah seorang teman dari Bangladesh yang awalnya kutemui dan kuajak berbincang di acara berbuka puasa di ILC. Waktu itu dia ada menyebutkan namanya, tapi kemudian aku lupa. Beberapa hari yang lalu, ketika kami sama-sama pulang dari shalat Isha berjamaah di ILC, dia kembali menanyakan nama dan nomor telpon ku. Aku kembali ingat, kalau namanya adalah Wali dan ternyata dia tinggal di building 24 dan dia sangat senang karena mengetahui aku juga tinggal di Stouffer di building 18 yang tidak begitu jauh dari tempatnya. Lalu ada Ali, mahasiswa graduate dari Irak. Dia mengambil program teknik atau komputer kalau aku tidak salah. Dia juga kutemui di ILC waktu berbuka puasa dulu. Setelah itu ada Iesha dan Rasha, dua orang muslimah yang tinggal tepat di lantai dua apartemen ku, building 18. Iesha (baca: Aisha) ini adalah muslimah Afro-American yang masuk Islam beberapa tahun silam, bertubuh tinggi besar dan memakai hijab khas wanita timur tengah warna warni, tapi bukan Burkha ala wanita dari kaum Sunii dan Syiah di Irak yang cenderung selalu berwarna hitam atau gelap. Pokoknya Iesha ini adalah contoh muslimah teladan yang selalu aktif dalam mengkoordinir berbagai kegiatan keislaman di ILC. Sedangkan Rasha adalah wanita asal Irak. Sebenarnya dia sudah menikah dan punya anak, tapi terpaksa meninggalkan mereka demi menuntut ilmu. Menurut Iesha, dia menumpang di sini, artinya Rasha lah yang jadi penghuni tetap di Stouffer Building 18 tersebut. Tapi itu biasa saja, karena sesama Muslim bukannya harus saling menolong. Selain mereka ini, aku juga kenal wajah dengan beberapa keluarga dari Arab, Libanon, Palestina dan negara-negara timur tengah lainnya.

Kemudian yang asyiknya, ada beberapa orang dari China, China Taipei dan Korea yang tinggal di Stouffer ini dan kukenal secara kebetulan. Yang pertama adalah Suu, seorang mahasiswa graduate dari Korea Selatan. Dia belajar salah satu ilmu sosial, kalau tidak ekonomi, mungkin semacam ilmu filsafat. Dia kutemui ketika suatu sore aku lagi bersih-bersih teras dan kulihat dia berjalan-jalan di sepanjang teras dan jalur penghubung antara building dengan perlahan-lahan. Ketika kusapa, kenapa tidak berjalan melewati lapangan rumput saja, supaya bisa lebih cepat, dia berucap dengan tutur bahasa inggris yang perlahan dan sedikit susah dimengerti, kalau dia takut dengan duri-duri dan lubang-lubang galian yang mungkin ada di lapangan rumput tersebut. Suu ini adalah perempuan Korea dengan typical jadul; maksudnya, dari ukuran tubuh, dia termasuk mungil dan mengenakan kacamata, terkesan agak lamban. Ketika dia tahu aku mahasiswa graduate untuk jurusan Biology, dengan sedikit mengkeret dia bilang "Biology is really difficult to study.."   Yuhuuuu, aku setuju, tapi bukankah itu jadi tantangannya? Kalau mudah, tentu saja aku gak perlu jauh-jauh pergi kuliah ke sini kan? He he he he...  Di kemudian hari aku baru tahu kalau Marlyn (teman yang dari Indonesia) kenal dengan Suu ini. Beberapa hari yang lalu, Marlyn mengirim pesan ke inbox ku, bilang kalau dia mau minta bantuan mengangkat AC (Ar Conditioner) yang diberikan oleh temannya di Building 16. Kebetulan aku lagi kosong waktu itu. Juga Building 16 dekat dengan Building 18 tempat ku tinggal, yang juga bersebelahan dengan Building 20 tempat tinggal Marlyn. Pas ke tempat Marlyn, aku bertanya bagaimana dia bisa kenal dengan temannya yang mau memberikan AC itu, dia bilang waktu dia baru tinggal di Stouffer, saat lewat di depan Building 16, dia melihat seorang wanita Korea lagi mondar mandir dengan gelisah di depan pintu apartmentnya. Alasannya karena dia baru saja datang di Stouffer, tidak punya teman di sana, tidak punya HP dan yang paling parah, karena suatu sebab, kartu kreditnya diblokir. Saat Marlyn mendekatinya, si wanita Korea ini bilang dia perlu menelpon segera ke temannya yang ada di Korea untuk membantu mengurus soal kartu kreditnya ini. Marlyn yang waktu itu belum mempunyai HP menawarkan bantuan menelpon lewat Skype. Akhirnya, masalah kartu kredit tersebut bisa diatasi dan mereka berdua ujung-ujungnya menjadi teman. Beberapa saat sebelum Marlyn mengirim pesan minta tolong tadi, ternyata mereka berdua kembali ketemu dan di wanita Korea tadi bilang kalau dia belum mengucapkan terima kasih. Kemudian setelah itu dia menawarkan pada Marlyn apakah mau menerima AC yang dia punya, karena dia sendiri punya dua. Tentu saja kalau diberi, gak ada alasan untuk menolak. Nah, pas menuju ke apartement temannya Marlyn itulah, aku baru tahu kalau ternyata dianya adalah si Suu yang kutemui dulu itu.. Ha ha ha... Ternyata, dia teman dari teman...

Kemudian ada lagi cerita tentang bagaimana aku bertemu dengan Michelle dan Terry. Keduanya dari Taiwan. Keduanya bukan pasangan suami istri atau pacaran gitu, tapi karena keduanya aku kenal hampir secara bersamaan, dan negara asalnya sama, makanya aku buat secara langsung saja keduanya. Michelle aku kenal karena dia dua minggu yang lalu memasang iklan di notice board bahwa dia akan memberikan beberapa furniture secara gratis karena akan pindah dan merasa terlalu berat untuk membawanya. Aku mengontak nomor yang disediakan di pengumuman tersebut dan dibalas bahwa si Michelle ini bersedia memberikannya kepadaku. Akhirnya pada jam yang ditetapkan, aku datang untuk menjemput barang-barang yang mau diberikan tersebut, berupa meja belajar, kursi serta tong sampah. Michelle ini tinggal di Building 26 kamar 6, satu building dengan Pak Taufik dan Mas Kus serta Mbak Nanik. Pas sampai di tempatnya si Michelle ini, ternyata ada seseorang lain, yang kupastikan juga orang China, sedang mengangkat sebuah meja pendek dari kayu yang kelihatannya cukup berat. Kemudian aku langsung menemui wanita di apartment itu yang kupastikan adalah Michelle, karena hanya dia yang ada di sana. Eh, pas ketemu, dia langsung bilang "Are you here to help him?" Katanya sambil menunjuk si cowok China yang lagi kerepotan mengangkat meja kayu tadi. Aku gelagapan. Kok gak ingat dia kalau sudah janjian aku mau ngambil barang yang ditawarkannya? "Oh, I just came by accidentally" aku juga gak tau kenapa gak bilang kalau aku sudah janjian. Setelah bilang begitu aku langsung balik badan dan pergi dari sana.

Rencananya, setelah tidak jadi mengambil furniture yang ditawarkan Michelle, aku pengen pergi ke mesjid di ILC karena waktunya sudah mendekati maghrib. Tapi pas berjalan melewati Anna Drive menuju ke 19th street, aku kembali melihat si cowok China yang membawa meja kayu tadi, tetap dengan gesture yang menggambarkan kalau dia lagi "butuh bantuan". Sebagai orang yang baik hati (plus tidak sombong dan rajin menabung), aku menawarkan bantuan. Dia menyambut tawaranku dan jadilah kami beruda mengangkat meja yang lumayan berat itu berdua--tentunya kalau berdua sudah tidak berat lagi. Si cowok China ini, yang kutaksir umurnya masih di bawah tigapuluhan ini bercerita dengan bahasa inggris yang cukup lancar juga. Dari nada suaranya, terlihat dia orang yang cukup pintar bergaul dan ramah. Dia berkacamata dan beberapa jerawat menghiasi wajahnya yang bermata sipit itu. Dia tinggal di lantai dua building 24 yang dekat dengan 19th street. Setelah sampai di depan pintu apartmentnya, kami bisa sedikit agak santai dan bercakap-cakap. Seperti biasa, kalau dua orang student ketemu, yang ditanya setelah nama adalah kuliah dimananya. Pas aku bilang di graduate program Biology, dia, yang memperkenalkan diri dengan nama Terry ini, bilang kalau dia dulu kuliah S1 nya juga di bidang Biology. Cuma sekarang untuk graduate program dia mengambil bidang Linguistik yang terkait dengan proses fisiologis manusia. Jadi tidak terlampau jauh jatuhnya dari biologi kan? Saat kutanya apakah dia dari China, dia mengoreksi dengan bilang kalau dia dari Taiwan atau China Taipeh. Dia  juga bilang kalau Michelle yang barusan memberikan dia meja tersebut juga berasal dari negara yang sama. Ternyata si Terry ini juga melihat pengumuman yang dibuat di Michelle ini dan mempunyai maksud yang sama dan kebetulan datang sedikit lebih duluan dari aku. Ha ha ha.. Gak masalah la kalau demikian, karena sebenarnya aku juga sudah punya meja belajar yang diberikan oleh Pak Taufik kepadaku sebelumnya. Mungkin memang si Terry ini lebih butuh dari ku..

Berlanjut ke omong-omong lainnya, aku kaget kalau dia ternyata tahu dengan lagu "Soleram" yang berasal dari negara kita Indonesia tercinta. Terry bilang, kalau dia suka dengan iramanya dan sampai sekarang dia hanya ingat dua kata dari lagu tersebut, yaitu "soleram' nya sendiri dan "aku" yang dia secara benar menterjemahkan menjadi "I" dalam bahasa inggris. Sebagai warga negara yang bai, aku tentu ikut promo tentang kebudayaan Indonesia dan bilang bahwa lagu tersebut hanya sebagian kecil dari banyak lagu di negara Indonesia yang punya sekian banyak lagu daerah. Akhirnya kami pun tukar-tukaran nomor HP dan berjanji untuk suatu waktu untuk saling mengunjungi lagi. Tapi mungkin karena dasarnya orang-orang China atau China Taipe ini gak ada pantangan dengan yang namanya alkohol, beberapa hari yang lalu aku menerima SMS dari si Terry ini kalau dia ingin pergi ke party seorang temannya dan ingin mengajak aku. Di sini, di Amerika ini, kalau yang namanya party, pasti ada minuman beralkoholnya. Walau dia bilang drinking not obligatory, tapi yaah, aku tentu saja dengan suka cita menolaknya. Lebih baik mencegah daripada mengobati, kan?? Satu lagi persamaan kami, adalah sama-sama suka mengunjungi Ambler Student Recreational Center di akhir pekan sebagai "weekend athlete". Ha ha ha... Asyik kan kalau sekarang pergi nge-gym dan ada teman??

Nge-gym bareng..

Kembali ke cerita tentang si Michelle, malamnya setelah kejadian dia tidak mengenali aku itu, dia mengirimkan pesan singkat yang menanyakan apakah aku yang bernama Terry. Aku menjawab bukan, karena memang bukan namaku, kan? Terus aku bilang saja kalau aku tidak jadi pergi ke tempatnya sesuai dengan perjanjian, karena kebetulan ada perlu yang lain (sedikit bohong demi menyelamatkan muka, hi hi hi). Kemudian dia menanyakan, apakah aku masih berminat dengan furniture yang dia tawarkan. Aku tentu menjawab iya, karena aku butuh. Akhirnya, kami menjadwal ulang waktunya menjadi besok harinya. Dan voila, dengan sedikit perubahan penampilan, si Michelle ini tidak mengenali aku lagi yang kemaren hari datang dan tidak dikenalinya sebagai orang yang kemaren dengan lugunya mampir ke rumahnya karena udah janjian. Kemudian dia juga bilang kalau dia telah salah menganggap si Terry adalah aku sebagai orang yang telah janjian dengannya. Mungkin si Terry itu langsung datang saja setelah membaca pengumuman yang dipasang Michelle tanpa membuat perjanjian via telpon, sehingga kejadiannya seperti yang kemaren itu. Dan sukses lah aku mendapatkan bantuan sebuah meja belajar, kursi yang cukup empuk dan sebuah trash bin yang bisa kupakai mengornisir sampah-sampah di dapur. Bahkan besok harinya, kembali si Michelle tersebut menawarkan sebuah kipas angin dan lampu belajar. Aku sih oke-oke saja. Kipas angin memang belum perlu sekarang, karena cuaca sudah mulai dingin. Sedangkan lampu belajar bisa membantuku untuk lebih konsentrasi saat belajar. Saat serah terima barang-barang tersebut, dia bilang "This is the last time I give to you, because I'm moving now...."

Yah, makasih banyak Mbak. Mudah-mudahan dilancarkan semua urusannya.. Dengan demikian, aku juga makin bisa hidup dengan layak lah.. Ternyata dari ritual beri memberi dan kasih mengasih ini, aku tahu bahwa kebanyakan barang-barang yang dipunyai oleh penghuni Stouffer memang berasal dari tradisi saling memberikan sumbangan tersebut. Si Michelle bilang bahwa barang-barang yang diberikannya tersebut merupakan pemberian dari temannya pula. Begitu pula dengan Suu yang sudah memberikan AC nya kepada Marlyn, juga bilang kalau dia punya dua buah mesin itu, karena kedua-duanya diberikan oleh temannya.

Furniture

Tapi di atas itu semua, aku sangat bersyukur karena punya kemampuan bersosial yang cukup baik, sehingga bisa mempunyai teman di tempat tinggal yang baru ini. Mudah-mudahan mereka semua bukan lah orang terakhir yang ada di dalam daftar teman ku, karena masa depan masih panjang di Kansas ini. Aku masih ingin punya teman dari kaum Black American, karena selama ini orang hitam yang kukenal adalah orang-orang Afrika tulen yang memang belajar di sini dengan meninggalkan negaranya yang ada di benua hitam tersebut. Yang aku maksudkan adalah mereka kulit hitam Amerika yang kalau ngomong suka ceplas-ceplos dan pintar dance serta nge-rap. Tapi tentunya siapa saja ingin aku berteman dengan mereka.... Ah, mudah-mudahan lah...

Terakhir, ada satu hal yang paling mendasari note kali ini dan masih terus terngiang-ngiang di telinga adalah perkataan dari salah seorang dosenku dulu (yang kemudian hari menjadi kolegaku sesama pengajar di Universitas Andalas): "Carilah teman sebanyak mungkin, karena kita tidak tahu dari teman yang mana rejeki kita bakal datang"

Dan sepertinya aku sudah membuktikannya sedikit demi sedikit...

Alhamdulillah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar